Teknik Psychological Profiling sebenarnya telah mulai digunakan secara informal sejak akhir 1940. Tujuannya adalah untuk mengungkap pembunuhan berantai (serial crime) manakala aparat penegak hukum telah
mati kutu.
Psychological profiling melibatkan serangkaian proses deduktif. Prinsip kerjanya begini. Kepribadian seseorang umumnya menetap dan stabil di berbagai situasi. Sebagai contoh, individu dengan kepribadian kompulsif (serba rapi, teratur, kaku) cenderung berperilaku demikian adanya di segala aspek kehidupannya: apartemen, mobil dan meja kerjanya selalu kinclong - bersih tanpa debu, pun penampilannya juga selalu rapi. Ketika melakukan suatu tindak kejahatan, si kompulsif ini kemungkinan besar juga akan melakukannya dengan tersusun rapi, melibatkan perencanaan yang matang. Nyaris mustahil si kompulsif akan mengubah pola pikir dan perilakunya menjadi impulsif, tak terencana dan serampangan ketika melakukan aksi kriminal. Setelah mencermati pola pengeboman Metesky, Brussles menarik kesimpulan bahwa si pelaku merupakan individu dengan tipe kepribadian kompulsif, yang selalu rapi dalam segala hal, termasuk berpakaian.
Psychological profiling melibatkan serangkaian proses deduktif. Prinsip kerjanya begini. Kepribadian seseorang umumnya menetap dan stabil di berbagai situasi. Sebagai contoh, individu dengan kepribadian kompulsif (serba rapi, teratur, kaku) cenderung berperilaku demikian adanya di segala aspek kehidupannya: apartemen, mobil dan meja kerjanya selalu kinclong - bersih tanpa debu, pun penampilannya juga selalu rapi. Ketika melakukan suatu tindak kejahatan, si kompulsif ini kemungkinan besar juga akan melakukannya dengan tersusun rapi, melibatkan perencanaan yang matang. Nyaris mustahil si kompulsif akan mengubah pola pikir dan perilakunya menjadi impulsif, tak terencana dan serampangan ketika melakukan aksi kriminal. Setelah mencermati pola pengeboman Metesky, Brussles menarik kesimpulan bahwa si pelaku merupakan individu dengan tipe kepribadian kompulsif, yang selalu rapi dalam segala hal, termasuk berpakaian.
Douglas dan kawan-kawan (1986) menjelaskan enam tahap dalam proses profiling:
1. Input : mengumpulkan detil dan fakta aksi kejahatan yang sedang diinvestigasi.
2. Decision process : menyusun informasi yang didapat menjadi sesuatu yang bermakna, serta menganalisa siapa yang rentan menjadi korban & resiko yang mungkin ditanggung pelaku dalam melakukan aksinya (misal, melakukan kejahatan di siang hari akan lebih beresiko cepat ketahuan ketimbang di malam hari).
3. Crime Assessment : Rekonstruksi aksi kejahatan sekaligus menganalisa motivasi si pelaku.
4. Criminal Profile : mulai membangun deskripsi profil si pelaku.
5. Investigation : menggunakan deskripsi profil sebagai petunjuk penyelidikan.
6. Apprehension : Senantiasa mencocokan informasi baru dengan deskripsi profil yang telah dibuat. Amat dimungkinkan dilakukan perubahan profil.
MENCERMATI RESIKO
Berikut adalah hal-hal yang juga amat membantu proses Psychological Profiling :
Resiko Korban : seberapa besar resiko seseorang menjadi korban kejahatan. Misalnya, untuk kasus pembunuhan dengan motif seksual, maka perempuan yang bekerja di malam hari dengan pakaian seksi lebih rentan menjadi korban.
Resiko Pelaku : seberapa besar resiko pelaku akan tertangkap ketika melakukan aksi kejahatannya. Kejahatan yang dilakukan di siang bolong, di tengah pemukiman padat penduduk, tentunya akan lebih mudah terdeteksi polisi.
Eskalasi : Pada awal berkarir, pelaku kriminal umumnya memulai aksinya dengan kejahatan tingkat ringan. Lambat laun, aksi ini akan meningkat menjadi lebih 'kejam'.
Panggung : Pelaku cenderung melakukan aksi panggungnya sedemikian rupa untuk mengelabui penyelidikan polisi. Misalnya, seorang suami yang membunuh istrinya setelah bertengkar hebat, akan memanipulasi jasad korban hingga tampak sebagai korban pemerkosaan (pembunuhan yang disertai pemerkosaan). Dengan demikian, sang suami berharap polisi tidak akan mencurigai dirinya.
1. Input : mengumpulkan detil dan fakta aksi kejahatan yang sedang diinvestigasi.
2. Decision process : menyusun informasi yang didapat menjadi sesuatu yang bermakna, serta menganalisa siapa yang rentan menjadi korban & resiko yang mungkin ditanggung pelaku dalam melakukan aksinya (misal, melakukan kejahatan di siang hari akan lebih beresiko cepat ketahuan ketimbang di malam hari).
3. Crime Assessment : Rekonstruksi aksi kejahatan sekaligus menganalisa motivasi si pelaku.
4. Criminal Profile : mulai membangun deskripsi profil si pelaku.
5. Investigation : menggunakan deskripsi profil sebagai petunjuk penyelidikan.
6. Apprehension : Senantiasa mencocokan informasi baru dengan deskripsi profil yang telah dibuat. Amat dimungkinkan dilakukan perubahan profil.
MENCERMATI RESIKO
Berikut adalah hal-hal yang juga amat membantu proses Psychological Profiling :
Resiko Korban : seberapa besar resiko seseorang menjadi korban kejahatan. Misalnya, untuk kasus pembunuhan dengan motif seksual, maka perempuan yang bekerja di malam hari dengan pakaian seksi lebih rentan menjadi korban.
Resiko Pelaku : seberapa besar resiko pelaku akan tertangkap ketika melakukan aksi kejahatannya. Kejahatan yang dilakukan di siang bolong, di tengah pemukiman padat penduduk, tentunya akan lebih mudah terdeteksi polisi.
Eskalasi : Pada awal berkarir, pelaku kriminal umumnya memulai aksinya dengan kejahatan tingkat ringan. Lambat laun, aksi ini akan meningkat menjadi lebih 'kejam'.
Panggung : Pelaku cenderung melakukan aksi panggungnya sedemikian rupa untuk mengelabui penyelidikan polisi. Misalnya, seorang suami yang membunuh istrinya setelah bertengkar hebat, akan memanipulasi jasad korban hingga tampak sebagai korban pemerkosaan (pembunuhan yang disertai pemerkosaan). Dengan demikian, sang suami berharap polisi tidak akan mencurigai dirinya.
Waktu, lokasi, dan modus operandi.
source: http://awaltahun.blogspot.com/2010/03/menebak-tersangka-dengan-psychological.html
source: http://awaltahun.blogspot.com/2010/03/menebak-tersangka-dengan-psychological.html
0 komentar:
Posting Komentar